- Sebagaimana telah dikemukakan, tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terpelihara keturunan nasab,
sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an surah
an-Nahl ayat 72.Pengertian
nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui
akad perkawinan yang sah.
Dari pengertian tersebut, untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya, dibutuhkan dua syarat: hubungan darah dan akad perkawinan yang sah. Bila hanya terdapat satu syarat, baik hubungan darah saja maupun akad perkawinan yang sah saja, nasab tidak bisa dihubungkan diantara keduanya.
Para ulama mazhab sependapat bahwa dalam hal perkawinan yang sah, bila seorang perempuan melahirkan anak, anak itu bisa dihubungkan nasabnya kepada suaminya.
Akan tetapi, untuk dapat menghubungkan nasab anak kepada ayahnya, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya: anak tersebut dilahirkan setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah (menurut Hanafiyah) atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan suami istri (menurut mayoritas ulama mazhab). Bila anak lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad atau dari persetubuhan suami istri, anak itu tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya itu. Hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa kehamilan telah terjadi sebelum terjadinya perkawinan, kecuali jika suami mengakui bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya dan mengakui pula dirinyalah yang mehamili wanita itu sebelum ia menikahinya.
Dalam hal pernikahan wanita hamil akibat zina, sebelum berbicara masalah penentuan nasab, terlebih dahulu kita kembali kepada pendapat para ulama tentang status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina itu.
1. Ulama Hanafiyah berpendapat bawa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain (dalam hal dengan laki-laki lain, Abu Yusuf dan Za'far berpendapat tidak sah). Karena perkawinannya sah, bila anak lahir setelah berlalu waktu enam bulan dari waktu akad, tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami ibunya itu kecuali jika si suami itu mengakuinya.
2. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Dengan demikian, bila anak lahir setelah berlalu waktu enam bulan sejak persetubuhan suami istri, anak itu dinasabkan kepada suami dari ibunya, tapi bila anak lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami dari ibunya itu kecuali bila suami mengakuinya.
3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum pernikahan wanita hamil akibat zina adalah tidak sah. Karena itu, tidak ada hubungan nasab antara anak yang dilahirkan dan laki-laki yang menikahi ibunya itu karena hukum akad nikahnya sendiri tidak sah.
4.KHI berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, tapi bila laki-laki lain yang bukan menghamilinya, akad nikah tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian, hubungan nasab antara anak dan ayah hanya ada apabila yang menikahi ibunya itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hubungan nasab menjadi tidak ada karena akad nikahnya sendiri hukumnya tidak sah.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 99 tentang kedudukan anak bahwa anak yang sah adalah.
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, - b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di
luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 99 point @ menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, sedangkan pasal 53 ayat 1 menyatakan bahwa sahnya perkawinan wanita hamil hanya bisa dilakukan dengan pria yang menghamilinya. Dengan demikian, hubungan nasab antara anak dan ayahnya hanya ada bila yang menikahi wanita hamil itu laki-laki yang menghamilinya.
Berbeda dengan pendapat para ulama mazhab, KHI tidak menjadikan tenggang waktu enam bulan sebagai dasar untuk mengkaitkan hubungan nasab seorang anak kepada ayahnya. Menurut penulis, hal ini didasarkan kepada dua alasan berikut.
Pertama, tenggang waktu enam bulan (yang dijadikan dasar oleh para ulama mazhab dalam penentuan hubungan nasab) itu bukan berdasarkan dalil yang qath'i, baik Al-Qur'an maupun hadits, tapi hanya merupakan pemahaman para ulama mazhab terhadap dua ayat dalam Al-Qur'an, yaitu surah al-Ahqaaf ayat 15 dan surah Luqman ayat 14 (lihat "Minimal Masa Kehamilan"subbab"Hamil, Iddah, dan Istibra').
KHI memahami kedua ayat ini tidak untuk menjadikannya sebagai dasar dalam penentuan nasab, tapi hanya merupakan dasar dalam hal penentuan batas minimal masa kehamilan.Maksudnya, dengan dua ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa seorang perempuan (dalam hal mengandung anak) membutuhkan waktu minimal enam bulan sejak terbentuknya nutfah sampai ia melahirkan.
Pemahaman ini sejalan dengan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa janin yang berada didalam rahim ibu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua bulan berikutnya disempurnakan khilqah (bentuk)nya. Dengan demikian, seandainya ia lahir dalam umur enam bulan, ia sudah sempurna walaupun mungkin kurang sehat.
Kedua, kaidah fiqih menyatakan, "Pengikut (hukumnya) itu sebagai yang mengikuti. " (as-Suyuthi, TT: 81) Termasuk dalam kategori kaidah tersebut adalah: "Pengikut tidak diberi hukum tersendiri. " (as-Suyuthi, TT: 81) Misalnya, anak kambing dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya;terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut. Atau juga seperti ulat yang tumbuh dalam buah-buahan, seperti petai; (karena petai halal), ulat pun boleh dimakan beserta petai asalkan tidak dipisahkan.Artinya, tatus hukum yang ditetapkan terhadap yang diikuti berlaku pula terhadap yang mengikuti karena pengikut tidak diberi hukum tersendiri.
Dalam hal akad nikah wanita hamil akibat zina, status hukum diberikan kepada wanita yang hamil itu, tidak kepada kehamilannya karena anak dalam kandungan tidak diberi hukum tersendiri. Karenanya, status hukum yang ditetapkan terhadap wanita hamil berlaku pula terhadap anak yang ada dalam kandungannya. Yang menjadi masalah, sahkah akad nikah wanita hamil itu? KHI berpendapat hukumnya sah bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya. Dengan demikian, karena status hukum akad nikahnya sah, wanita hamil itu sah menjadi istrinya, termasuk anak yang ada dalam kandungan wanita itu sah pula menjadi anaknya, kapan saja akad nikah dilangsungkan asalkan sebelum anak dilahirkan. Dari beberapa pendapat para ulama sebagaimana yang telah kami kemukakan, terlihat bahwa dalam masalah terpeliharanya keturunan, yang lebih memungkinkan untuk bisa dicapai adalah menurut pendapat KHI. Meskipun tidak memberikan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran anak, maupun karena KHI membatasi bahwa yang boleh menikahi wanita hamil itu hanya laki-laki yang menghamilinya, masalah terpeliharanya keturunan menjadi lebih mungkin untuk bisa dicapai. Adapun pendapat ulama mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah, walaupun mereka memberikan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran anak, namun karena memberikan kesempatan kepada laki-laki bukan yang menghamili untuk menikahi wanita hamil tersebut, kemungkinan terpeliharanya keturunan menjadi kecil untuk bisa dicapai, sebab sekalipun diberikan tenggang waktu enam bulan, tapi karena masa kehamilan itu umumnya sembilan bulan, ada kemungkinan wanita yang sudah hamil dua bulan dinikahi oleh laki-laki lain, akhirnya anaknya dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya itu, sedangkan diantara keduanya tidak ada hubungan darah.
Ket : ISTIBRA' adalah masa menunggu untuk mengetahui bersihnya rahim
KHI singkatan Kompilasi Hukum Islam
Wassalam.
Abdul Wahab, LC
Persoalannya
adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada
pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian
mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga
batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa
aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan
kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam
Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab
VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari
BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
- Seorang wanita hamil
di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkan
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Persoalan
menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan
sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil
adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap
terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan
wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada
anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
Dalam
kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama,
harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status
anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang
mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria yang mengawini
dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut
menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan
adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding
dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram. Perkawinan
dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak
yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria
yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum
Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan
psikologis. Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama
berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut
madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50)